Upaya Hukum Peninjauan Perkara Perceraian
Artikel Pengacara Balikpapan Tentang Upaya Hukum Peninjauan Perkara Perceraian
Putusan tingkat pertama yang telah berkekuatan hukum tetap atau putusan kasasi mengikat kepada para pihak berperkara, dalam arti lain putusan tersebut ditetapkan sebagai putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van Gewijsde) dan harus dianggap benar (Res judicata pro veritate accipitur).Akan tetapi dalam hukum acara masih ada
upaya
hukum terhadap suatu putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
yaitu Peninjauan Kembali dan upaya hukum Derden Verzet (perlawanan
pihak ketiga terhadap sita eksekusi atau sita jaminan). (Sudikno
Mertokusumo, 1998).
Peninjauan
Kembali berlaku pada semua perkara, baik perdata (termasuk perkawinan
dan perceraian) maupun pidana. Akan tetapi, meskipun pihak berperkara
mengajukan Peninjauan Kembali, namun Pasal 66 ayat (2) Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1985 (telah diubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2009)
tentang Mahkamah Agung menyatakan bahwa: "Permohonan peninjauan kembali
tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan Pengadilan".
Berdasarkan
ketentuan pasal tersebut, jika dalam perkara perdata lain, tidak akan
banyak menghadapi masalah hukum jika Pihak yang mengajukan Peninjauan
Kembali tersebut dimenangkan. Akan tetapi, bagaimana jika Peninjuan
Kembali itu terjadi dalam perkara perceraian? Hal ini menjadi menarik
untuk dibahas karena berkaitan dengan hasil diskusi Kelompok Bidang
Agama (Komisi II) Rakernas Mahkamah Agung di Manado, yang menghasilkan
salah satu poin rumusan �Demi kepentingan hukum, maka ikrar talak yang
sudah diucapkan di depan sidang pengadilan dapat dibatalkan dengan
putusan Peninjauan Kembali�.
Upaya Hukum Peninjauan Kembali
Putusan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tidak dapat dirubah,
apalagi dibatalkan. Akan tetapi dalam kenyataan tidak mustahil putusan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap tersebut mengandung suatu
cacad hukum yang sebelumnya tidak diketahui oleh hakim yang memeriksa
perkara, baik pada pengadilan tingkat pertama, tingkat banding atau
kasasi dengan mengingat bahwa hakim adalah manusia biasa yang tidak
dapat menembus kebenaran secara hakiki; hakim bisa saja dibohongi oleh
saksi-saksi pada saat pemeriksaan sidang, padahal saksi-saksi tersebut
merupakan kunci penentuan suatu keputusan. Oleh karena itulah ada ada
Upaya Hukum dalam Hukum formil yang secara substansi merupakan salah
satu upaya dari penegakan hukum.
Upaya Hukum Peninjauan tidak dikenal dalam HIR dan R.Bg.akan tetapi dapat ditemui di RV (Raad van Justicie), yang dikenal dalam Hukum Acara sebagai lembaga �Recuest Civiel�,
yaitu suatu lembaga yang memberikan kesempatan untuk dibuka kembali
pemeriksaan perkara yang telah memperoleh putusan berkekuatan hukum
tetap. Saat ini Peninjauan Kembali juga telah dituangkan dalam Pasal 24
ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
bahwa :�Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum yang tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan
peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung apabila terdapat hal atau
keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang�.
Peninjauan Kembali dapat dilakukan dengan beberapa syarat tertentu:
- Adanya alasan Upaya Hukum Peninjauan Kembali
Seseorang
yang berkepentingan dengan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap dan merasa dirugikan dengan putusan itu mempunyai hak untuk
mengajukan upaya hukum peninjauan kembali selama ia mempunyai
alasan-alasan yang dibenarkan oleh hukum, diantaranya:
a. apabila
putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan
yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada
bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
b. apabila
setelah perkara diputus ditemukan surat-surat bukti yang bersifat
menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;
c. apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang dituntut;
d. apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;
e. apabila
antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas
dasar yang sama oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatannya telah
diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain;
f. apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. (UU No. 5/2004)
Dari
rumusan di atas, dipahami bahwa peninjauan kembali dapat diajukan
dengan alasan adanya hal-hal baru yang diketahui setelah putusan
dijatuhkan sementara upaya hukum biasa telah lewat atau telah dilakukan
akan tetapi upaya tersebut mengalami kegagalan.
Dengan
salah satu alasan atau lebih, pihak yang berkepentingan dalam hal ini
termasuk perkara perceraian pada pengadilan Agama dapat mengajukan
permohonan peninjauan kembali melalui Pengadilan Agama yang memutus
perkara pada tingkat pertama sekaligus dengan membayar biaya peninjauan
kembali. Pengajuan upaya hukum Peninjauan Kembali meliputi perkara
perceraian yang dijatuhkan dengan thalak raj�i, thalak bain sugro,
thalak bain kubro dan termasuk thalak yang dijatuhkan dengan sumpah
lian.
Dalam
setiap persidangan upaya atau tindakan yang mengarah kepada pemalsuan
fakta atau pemutarbalikkan fakta adalah sesuatu yang tidak jarang
terjadi, sebab pihak-pihak berperkara berupaya keras untuk memenangkan
perkaranya di pengadilan.
Pemutarbalikan
fakta dalam sengketa perdata umum seringkali terjadi dan membuka
kemungkinan yang luas termasuk didalamnya perkara perdata perkawinan
yang mengarah kepada perceraian. Penggugat atau pemohon dengan kelihaian
kata-kata atau dengan keberhasilan menghadirkan saksi-saksi palsu telah
dapat mempengaruhi hakim sehingga fakta yang ditemukan dalam sidang
berbeda dengan fakta yang sebenarnya misalnya dalam hal sumber
permasalahan atau sumber kesalahan sehingga kesalahan diarahkan kepada
tergugat atau termohon.
Pada
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum telah umum diketahui bahwa
siapa yang salah dialah yang dikalahkan dalam suatu perkara. Berbeda
pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama terutama dalam sengketa
perceraian; putusan hakim tidak didasarkan kepada siapa yang salah,
akan tetapi sangat ditentukan dari fakta yang ditemukan apakah
keharmonisan para pihak berperkara dalam rumah tangga sebagai pasangan
suami isteri masih dapat dipertahankan ataukah sulit atau tidak mungkin
dapat didamaikan.
Pada
kasus perceraian ketika perkara telah melalui beberapa proses dari
tingkat pertama, tingkat banding dan kasasi dan dilanjutkan dengan upaya
Peninjauan kembali, yang didalamnya terjadi perdebatan antara para
pihak berperkara jelas merupakan fakta yang tidak perlu pembuktian lagi
(notoir) bahwa kedua belah pihak berperkara telah terjadi perselisihan
yang sulit untuk didamaikan.
Dengan
demikian jika ditemukan fakta tentang pemutarbalikkan fakta, hal itu
tidak akan merusak alasan utama dari suatu perceraian.
- Ditemukan novum yang lebih dominan menunjukkan bukti kepemilikan yang selama persidangan bukti tersebut tidak ditemukan.
Dalam
sengketa perdata umum, hal itu sering terjadi; berbeda dengan perkara
sengketa perkawinan yang mengarah kepada perceraian jelas yang
dipersoalkan bukan hal kepemilikan namun lebih menjurus kepada hal-hal
yang mempunyai nilai abstark yaitu cinta kasih dan kebencian dua hal
yang tidak bisa dipaksakan untuk diputarbalikkan, kebencian tidak bisa
dipaksa untuk dirubah menjadi cinta kasih atau sebaliknya cinta kasih
tidak bisa dipaksa untuk dirubah menjadi kebencian.
Dengan
demikian maka dalam hal perkara sengketa perkawinan yang mengarah
kepada putusnya hubungan perkawinan, persyaratan formal Peninjauan
Kembali dalam hal adanya novum baru akan sulit ditemukan. Berbeda jika
novum tersebut terhadap fakta lain dari akibat perceraian seperti
misalnya tentang penentuan harta bersama, hal itu bisa dimungkinkan
terjadi. Dalam kaitan alasan ini juga tampak jelas bahwa upaya hukum
peninjauan kembali sangat membantu menemukan kebenaran untuk
mengembalikan pihak berperkara pada porsi yang sebenarnya; dengan adanya
bukti baru yang ternyata benar maka pihak yang semula dikalahkan dalam
suatu perkara yang jelas menjadi pihak yang teraniaya dapat dikembalikan
haknya dan pada intinya hukum telah mampu menegakkan keadilan.
Salah
satu syarat formal suatu gugatan atau permohonan adalah adanya suatu
tuntutan atau permohonan dan bahkan tidak jarang tuntutan atau
permohonan tersebut tidak hanya terdiri dari satu tuntutan atau
permohonan namun dikumulasikan dengan tuntutan atau permohonan lainnya.
- Peninjauan Kembali Tidak Menghentikan Eksekusi.
Sebagaimana
dikemukakan di atas, bahwa jika putusan telah memperoleh kekuatan hukum
tetap maka eksekusi dapat dijalankan; namun tidak jarang dalam praktek
ditemui suatu proses upaya hukum yaitu sebelum eksekusi dijalankan atau
pada saat eksekusi dijalankan pihak berkepentingan mengajukan
permohonan Peninjauan Kembali. Dalam kondisi seperti itu, Pasal 66 ayat
(2) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 memberikan jawaban dengan ungkapan :
�Permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan
pelaksanaan putusan Pengadilan�.
Kalau
Pasal 66 ayat (2) diperhatikan benar-benar bersifat �negasi�, dalam
kata-kata �tidak menangguhkan atau tidak menghentikan pelaksanaan
putusan�. Dari sudut pandangan yuridis, setiap yang bersifat �negasi�
atau �larangan� adalah bersifat �imperative�. Jika demikian, permohonan
Peninjauan Kembali secara mutlak tidak boleh menangguhkan atau
menghentikan eksekusi�. (M. Yahya Harahap, 2005)
.
Peninjauan Kembali Perkara Perceraian
Ketika
suatu putusan pengadilan dinyatakan telah mempunyai kekuatan hukum
tetap pada dasarnya putusan tersebut sudah final, kedua belah pihak
berperkara secara yuridis harus menerima putusan itu dengan lapang dada
terlepas dari suka atau tidak suka, kecewa atau merasa puas. Hanya saja
dengan kesadaran bahwa manusia memiliki keterbatasan maka setelah
dilakukan upaya hukum biasa dimungkinkan untuk dilakukan pemeriksaan
dalam upaya hukum luar biasa yaitu upaya hukum Peninjauan Kembali yang
tujuannya tidak lain untuk mencari kebenaran secara maksimal.
Jika
suatu perkara perceraian telah Berkekuatan Hukum Tetap, maka suami
isteri tersebut telah diputuskan hubungan perkawinannya, dan mereka
dapat melakukan perkawinan baru dengan pihak lain. Apabila salah satu
pihak mengajukan permohonan peninjauan kembali dan dikabulkan, maka
pasangan suami isteri tersebut secara yuridis kembali berposisi sebagai
pasangan suami isteri yang sah. Permasalahan baru muncul, apabila salah
satu pihak ternyata sudah melaksanakan pernikahan dengan orang lain,
maka otomatis isteri mempunyai dua suami yang sah dan atau seorang suami
mempunyai dua isteri yang sah. Upaya hukum peninjauan kembali ini,
dapat disalah gunakan oleh pihak yang ingin melakukan poligami atau
poliandri (dengan tidak membahas masalah kebolehannya atau tidak) secara
terselubung.
Masalah
yang berbeda akan dihadapi dalam kasus cerai talak dengan eksekusi
Ikrar Talak-nya. Walaupun masih terjadi perbedaan pendapat tentang Ikrar
Talak adalah suatu bentuk eksekusi atau bukan, akan tetapi penulis
cenderung memegang pendapat bahwa Ikrar Talak adalah eksekusi dari
putusan Cerai Talak.
Eksekusi
mungkin bisa dimohonkan untuk ditunda atau dilawan, tapi tidak untuk
dibatalkan. Hal ini berkaitan dengan asas kepastian hukum. Ikrar talak
yang notabene merupakan eksekusi dari putusan cerai talak mempunyai
kekuatan yang sama untuk tidak dapat dibatalkan.
Mungkin,
hal ini bisa diberikan kebijakan khusus Mahkamah Agung dengan perintah
kepada Pengadilan Tingkat pertama untuk menunda ikrar talak, jika salah
satu pihak mengajukan upaya Peninjauan Kembali sampai putusan Peninjauan
Kembali tersebut jatuh. Namun hal ini menemui kendala baru bahwa jangka
waktu eksekusi Ikrar Talak hanya 6 bulan, jika lewat jangka waktu
tersebut maka ikrar talak dianggap tidak dilaksanakan. Hal ini bisa
disalah gunakan oleh pihak lawan yang tidak mau diikrarkan untuk
langsung mengajukan permohonan Peninjauan Kembali, dengan asumsi bahwa
jangka waktu dari pengajuan permohonan Peninjauan Kembali sampai putusan
akan melebihi jangka waktu 6 bulan, sehingga ikrar tidak jadi
dilaksanakan.
Penulis
berpendapat, bahwa tidak tepat jika peninjauan kembali tersebut
ditujukan kepada Ikrar Talak-nya (yang merupakan eksekusi, dan berbentuk
penetapan), akan tetapi lebih pas jika ditujukan kepada putusan Cerai
Talak, karena tanpa putusan tersebut, Ikrar Talak tidak mungkin
dilaksanakan.
Di
sisi lain, jika kita melihat kepada Hukum Islam, permohonan Peninjauan
Kembali terhadap perkara perceraian, jika dikabulkan maka akan
menciptakan suatu kondisi baru yang melanggar hukum Islam: seorang
isteri dipaksa untuk hidup bersama dengan mantan suaminya yang telah
bercerai dengannya.
Nabi SAW. Bersabda: �Tiga hal yang seriusnya dianggap serius dan candanya dianggap serius: talak, nikah, cerai.� (HR. Abu Dawud). Berdasarkan hal ini, Ikrar
Talak yang diucapkan dihadapan sidang Pengadilan Agama adalah sebuah
hal yang sangat serius, sehingga talak tersebut telah jatuh, dan tidak
dapat dibatalkan.
Penutup.
Hukum
Islam mengatur kembalinya hubungan suami istri yang telah bercerai
berdasar putusan Peradilan Agama yang berkekuatan hukum tetap hanya
dapat dilakukan dengan cara rujuk dan nikah baru, oleh karena itu
putusan perceraian yang telah berkekuatan hukum tetap tidak dapat
dibatalkan melalui upaya hukum Peninjauan Kembali;
Upaya
hukum Peninjauan Kembali dalam perkara perceraian tidak boleh dilakukan
karena bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan juga bertentangan dengan Hukum Islam.
Kalaupun
pada akhirnya upaya Peninjauan Kembali terhadap perkara perceraian
dapat diakomodir, maka (menurut hemat penulis) hal ini perlu dirumuskan
dalam sebuah peraturan tertulis (berupa PERMA/SEMA/peraturan
perundang-undangan yang lain) agar dapat dijadikan pegangan dan tolak
ukur yang pasti bagi para Hakim Pengadilan Agama se-Indonesia.
Tidak ada komentar untuk "Upaya Hukum Peninjauan Perkara Perceraian"
Posting Komentar